Oleh: Agiel R.S. (Ketua Umum Pemuda Mahasiswa Bumi Raflesia Jayakarta)
Archipelagotimes.com – Korupsi, sebuah istilah yang berasal dari bahasa Latin corruptus atau corruptio, bermakna keburukan, kebejatan, dan penyimpangan dari nilai-nilai moral. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi diartikan sebagai tindakan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara, organisasi, atau lembaga demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang sering kali melibatkan para pemegang jabatan strategis. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, pelaku korupsi dapat dikenai hukuman penjara hingga seumur hidup atau denda hingga miliaran rupiah. Dalam kondisi tertentu, hukuman mati pun bisa dijatuhkan.
Namun, meski regulasi telah jelas, praktik korupsi tetap menjadi momok, termasuk di Provinsi Bengkulu. Selama 19 tahun terakhir, sejumlah gubernur Bengkulu telah tersandung kasus korupsi. Sebut saja inisial AM (2005–2012), JM (2012–2015), RM (2015–2017), dan kembali RM (2018–2024). Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: sampai kapan masyarakat Bengkulu harus hidup dalam bayang-bayang pemimpin yang terlibat korupsi?
Dampak Buruk Korupsi yang Mengakar
Tindak pidana korupsi memiliki dampak yang sangat merugikan, baik bagi kepercayaan masyarakat maupun pembangunan daerah. Ketika pejabat publik menyalahgunakan wewenang, kepercayaan rakyat terhadap pemerintah merosot. Selain itu, pembangunan infrastruktur terhambat, investor enggan masuk, dan pendapatan pajak daerah menurun drastis.
Lebih miris lagi, korupsi yang dilakukan oleh pemimpin daerah sering kali menjadi contoh buruk bagi pejabat di tingkat yang lebih rendah. Akibatnya, budaya korupsi menjadi semakin sulit diberantas.
Pencegahan Korupsi: Tanggung Jawab Bersama
Mencegah korupsi memerlukan pendekatan dari dua sisi: internal dan eksternal. Dari sisi internal, individu harus memperkuat integritasnya dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi nilai moral, dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki.
Dari sisi eksternal, transparansi menjadi kunci. Setiap agenda pemerintah harus terbuka kepada publik, diiringi dengan pengawasan ketat melalui regulasi hukum yang tegas. Selain itu, masyarakat harus aktif mengawasi aktivitas pejabat publik dan melaporkan indikasi pelanggaran.
Harapan Baru untuk Bengkulu
Dengan bergantinya tahun dan hadirnya pemimpin baru, harapan besar digantungkan pada Gubernur terpilih, Bapak H. Helmi Hasan, S.E. Rakyat Bengkulu menginginkan perubahan signifikan, sebuah provinsi yang terbebas dari perilaku korupsi.
Pemimpin daerah memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi teladan, tidak hanya bagi pejabat di bawahnya tetapi juga bagi masyarakat luas. Mari bersama-sama menciptakan Bengkulu yang lebih transparan, bebas korupsi, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Tahun 2025 adalah momentum untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat, membenahi tata kelola pemerintahan, dan memastikan bahwa Bengkulu merdeka dari segala bentuk korupsi.