Archipelagotimes.com – Spitak, Armenia – 7 Desember 1988. Jam menunjukkan pukul 11:41 waktu setempat ketika tanah tiba-tiba berguncang hebat. Dalam hitungan detik, kota Spitak luluh lantak. Gempa bumi berkekuatan 6,8 skala Richter itu menewaskan lebih dari 25.000 orang, melukai 15.000 lainnya, dan membuat sekitar 500.000 orang kehilangan tempat tinggal.
“Saya mendengar suara gemuruh seperti kereta api, lalu semuanya runtuh,” kata Mariam Petrosyan, saat itu seorang siswi sekolah menengah. Ia selamat karena berada di lapangan olahraga saat sekolahnya runtuh hanya dalam waktu 14 detik.
Ribuan bangunan roboh dalam waktu singkat. Rumah sakit, sekolah, dan pabrik hancur menyisakan reruntuhan dan jerit minta tolong. Banyak korban terjebak selama berhari-hari di bawah puing-puing. “Saya mendengar suara adik saya memanggil. Tapi kami tidak bisa menjangkaunya. Itu menghancurkan hati saya,” ujar Arman Karapetyan, salah satu relawan lokal.
Gempa ini mengundang perhatian dunia. Uni Soviet – saat itu masih dipimpin oleh Mikhail Gorbachev – menerima bantuan dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat, sebuah langkah langka di era Perang Dingin. Tim penyelamat dari Prancis, Jerman, Italia, dan AS datang membantu mencari korban selamat.
Namun, keterbatasan peralatan dan dinginnya musim dingin menjadi tantangan berat. Banyak yang selamat dari reruntuhan, tapi meninggal karena suhu beku.
“Kami tidur di tenda selama berbulan-bulan,” kata Mariam. “Tapi kehilangan yang paling berat bukan tempat tinggal. Itu adalah kehilangan orang-orang yang kami cintai.”
Hari ini, kota Spitak dibangun kembali, tapi luka dari 1988 tetap terasa. Tugu peringatan dan museum kecil menyimpan foto-foto korban dan barang-barang yang ditemukan dari reruntuhan—sebagai pengingat akan tragedi yang tak boleh dilupakan.