Archipelagotimes.com – Pernahkah Anda merasa weekend datang dengan rasa bersalah? Tentu bukan karena menunda pekerjaan, tetapi karena tenggelam dalam irama rutinitas yang membosankan. Di saat sebagian besar orang menganggap weekend sebagai momen pelarian dari kenyataan, ada yang malah merasa lebih terjebak dalam perangkapnya. Dan di sisi lain, ada juga yang dengan penuh rasa bangga menghabiskan akhir pekan dengan sesuatu yang lebih “berkelas” – sesekali menenggak wine di rooftop atau berlibur ke Bali. Tapi, benarkah itu yang disebut “liburan”?
Sosial media bertebaran dengan foto-foto orang yang “mewujudkan mimpi” mereka di akhir pekan. Seorang teman yang mengunggah foto sedang hiking di Gunung Rinjani, sementara yang lain berpose dengan secangkir kopi di kafe Instagramable. Tapi, di balik itu semua, ada orang yang berakhir di sofa rumah, menonton serial TV yang berulang, atau bahkan sekadar tidur. Mereka bukan malas, tapi hanya lelah dengan kebisingan dunia yang tidak pernah tidur. Di tengah hiruk-pikuk kota besar, kita sering lupa bahwa relaksasi bukanlah tentang memamerkan waktu luang, melainkan menemukan ketenangan dalam kebersamaan dengan diri sendiri.
Menurut data dari BPS, 40% warga urban Indonesia menghabiskan weekend mereka hanya untuk beristirahat di rumah. Namun, fenomena ini berbanding terbalik dengan mereka yang berada di kelas atas, yang sering menganggap liburan akhir pekan sebagai momen eksklusif untuk memperkaya pengalaman. Bahkan, survei menunjukkan bahwa 25% dari mereka cenderung lebih memilih liburan ke luar negeri daripada sekadar menikmati fasilitas dalam negeri. Begitulah, kontras sosial yang kian terasa: ada yang menabung untuk tiket pesawat, sementara yang lain menabung untuk tetap tidur nyaman tanpa gangguan.
Ironisnya, sebagian besar dari kita berpikir bahwa weekend yang “nyata” harus melibatkan traveling ke tempat-tempat eksotis. Tetapi, tak jarang yang mengalami kebingungan saat kembali ke rutinitas. Apakah liburan sejati hanya soal destinasi atau lebih tentang pengalaman dalam diri? Mungkin, kita justru perlu mempertanyakan apakah kesibukan akhir pekan yang “serba ada” benar-benar memberi kebahagiaan. Kalau begitu, apalah arti akhir pekan kalau tidak bisa sekadar menikmati “tak ada yang harus dilakukan” tanpa merasa bersalah?
Pernahkah Anda merenung, apakah weekend yang Anda jalani benar-benar memberi ketenangan, atau hanya sekadar sebuah rutinitas lain dalam kehidupan yang tak berujung? Apa yang sebenarnya kita cari di akhir pekan: kebebasan atau pengakuan? Mungkin jawabannya ada dalam sejenak hening yang kita lupakan di tengah keramaian.