Untuk Anda yang berbaring tetapi memiliki otak untuk berjalan
Archipelagotimes.com – Di trotoar sempit antara toko perawatan wajah dan warung kopi kontemporer, seorang perempuan muda bernama Ayu mematut wajahnya di kamera ponsel. Filter digital sudah bekerja keras, tapi ia ingin lebih: serum glowing dari Paris, krim Korea anti-penuaan, dan lipstik vegan edisi terbatas. Hari itu, ia baru saja membeli moisturizer seharga gaji karyawan magang—tanpa tahu, mungkin saja di dalamnya ada zat kimia yang bahkan di pelajaran kimia SMA saja tidak dianjurkan disentuh.
Tahun 2024, Badan Kimia Eropa (ECHA) menemukan bahwa dari hampir 4.500 produk kosmetik yang mereka periksa di 13 negara Eropa—termasuk Jerman—sekitar 6% mengandung bahan kimia terlarang. Total 285 produk melanggar peraturan Uni Eropa, seperti POPs dan REACH. Artinya: produk yang dijual dengan narasi ‘cantik, sehat, alami’ ternyata menyimpan jejak polutan organik persisten dan racun sintetis yang lebih pantas dikemas dalam botol laboratorium daripada dalam kemasan pastel bertuliskan “for sensitive skin”.
Ironisnya, wajah glowing bukan lagi simbol kesehatan, tapi kadang pertanda paparan bahan kimia berbahaya—PFAS, paraben, hingga formaldehida. Konon katanya, semakin mahal harga sebuah serum, semakin sulit nama bahan-bahannya dibaca. Seolah-olah, kosmetik hari ini bukan lagi tentang kecantikan, tapi tentang tebak-tebakan: mana yang racun, mana yang sekadar pewangi?
Lalu kita bertanya pada diri sendiri: apa yang sebenarnya kita oleskan setiap pagi di wajah kita? Apakah itu perawatan, atau peracunan kecil yang disamarkan sebagai kemewahan? Di dunia yang mengajarkan kita untuk ‘mencintai diri sendiri’, mengapa kita justru meracuni kulit kita demi validasi yang sementara?