MORE ARTICLES

Racun-Racun yang Kita Telan: Dari Dapur, Dokter, hingga Demokrasi

×

Racun-Racun yang Kita Telan: Dari Dapur, Dokter, hingga Demokrasi

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi - Makanan Beracun.

Untuk Anda yang berbaring tetapi memiliki otak untuk berjalan.

Archipelagotimes.com – Pagi itu di Jakarta, suara klakson bersahut-sahutan seperti doa yang tak pernah terkabul. Di sebuah warteg di Tebet, seorang perempuan paruh baya dengan seragam buruh pabrik menyendok nasi uduk sambil menatap layar ponsel yang memperlihatkan wajah caleg tersenyum—tersenyum seperti ia tak pernah merasakan kemacetan atau harga minyak goreng yang naik dua kali dalam seminggu. Di meja sebelahnya, seorang ojek online diam-diam meneteskan saus sambal ke nasi gorengnya, sambil mendengar suara notifikasi utang dari aplikasi pinjaman daring. Semua tampak berjalan normal, hingga kita sadar: mereka semua sedang menelan sesuatu. Bukan hanya makanan. Tapi racun-racun kecil yang datang dari berbagai arah.

Sebuah studi dari Global Alliance on Health and Pollution mencatat bahwa Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan kematian terbanyak akibat polusi—bukan hanya udara, tapi juga makanan dan air. Di sisi lain, data dari Nielsen menunjukkan peningkatan konsumsi makanan ultra-proses di kota-kota besar. Ironisnya, orang kaya membeli salad organik yang diimpor dari Belanda, sementara di kampung sebelah, balita diberi mi instan sebagai sarapan dan makan siang. Di ruang tunggu rumah sakit, antrean pasien BPJS mengular, sementara di lantai atas, VIP check-up menyajikan jus detoks dan spa oksigen. Dua dunia dalam satu gedung, dua realitas yang tak pernah berdamai, tapi sama-sama terpapar racun dengan cara berbeda.

Dulu nenek kita percaya rempah bisa menyembuhkan segala penyakit. Sekarang, cucunya percaya bahwa iklan suplemen yang dibintangi artis sinetron lebih manjur dari jamu gendong. Kita lebih cepat percaya influencer yang bilang “detoks dalam 7 hari” ketimbang membaca label kandungan bahan. Kita minum kopi sachet yang katanya ‘3-in-1’, padahal 3 racunnya beda-beda: gula, pengawet, dan iklan. Dan entah sejak kapan kita mulai percaya bahwa demokrasi adalah sekadar memilih antara dua tokoh yang sama-sama menghindar dari debat substansi, tapi jago endorse program bansos.

Apakah kita benar-benar lapar, atau sekadar dicekoki? Apakah kita memilih, atau sedang dipilihkan? Di balik setiap makanan yang kita telan, resep yang ditulis dokter, atau janji manis di baliho pemilu—ada zat tak kasat mata yang merayap perlahan. Bukan sekadar kolesterol atau kebohongan politik. Tapi sesuatu yang lebih mematikan: rasa pasrah yang disulap jadi kebiasaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!