Thalidomide: Obat Penenang yang Mengusik Hening Nurani

×

Thalidomide: Obat Penenang yang Mengusik Hening Nurani

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi

Untuk Anda yang berbaring tetapi memiliki otak untuk berjalan

Archipelagotimes.com – Di sudut kota tua Düsseldorf, seorang nenek berkursi roda menjual lukisan cat air di dekat taman. Tangannya tak sempurna, jari-jarinya seperti ranting patah yang tetap ingin menggambar langit. “Dulu ibu saya hanya ingin tidur nyenyak,” katanya sambil tersenyum, “tapi lihatlah, saya dilahirkan sebagai puisi pahit dari farmasi yang sombong.” Di trotoar, orang lalu-lalang, sebagian menatap, sebagian tak peduli. Dunia terus berjalan, tapi sejarah kadang tergeletak diam di pangkuan yang terlupakan.

Pada puncak popularitasnya di akhir 1950-an, Thalidomide dijual bebas di lebih dari 40 negara sebagai penenang dan obat anti-mual untuk ibu hamil. Tak ada yang menanyakan kenapa tidak ada uji klinis yang memadai. Akibatnya, lebih dari 10.000 bayi lahir dengan kelainan fisik: tanpa lengan, tanpa kaki, atau dengan anggota tubuh yang tumbuh setengah. Ironisnya, anak-anak dari keluarga elit seringkali lebih terlindungi karena dokter pribadi mereka lebih skeptis. Sementara itu, ibu-ibu kelas pekerja—yang hanya ingin janin mereka tidak ikut muntah pagi-pagi—adalah korban utama dari eksperimen diam-diam.

Kalau saja waktu itu ada Badan POM dengan slogan “Cek KLIK sebelum beli”, barangkali dunia bisa menghindari tragedi berbentuk tangan-tangan mungil tanpa jari. Tapi tentu saja, zaman itu belum mengenal kampanye digital. Yang dikenal hanyalah brosur mengilap, dokter berjas rapi, dan janji “obat tidur tanpa efek samping”. Dan kita tahu, di balik setiap “tanpa efek samping” versi korporasi, ada rakyat kecil yang jadi kelinci percobaan, atau dalam bahasa lembutnya: *pejuang diam-diam dari farmasi dunia ketiga.

Apa yang membuat manusia begitu percaya pada botol kecil dengan label cantik? Apakah karena kita semua ingin sembuh dengan cepat, atau karena kita sudah terlalu lelah menanggung sakit yang tak ada obatnya—baik fisik maupun sosial? Thalidomide hanyalah satu dari banyak “janji modernitas” yang ternyata lebih lihai merusak daripada menyembuhkan. Dan ironisnya, baru pada tahun 2012, perusahaan pembuatnya, Gruenenthal, mengucap permintaan maaf—enam dekade setelah senyum palsu itu dipasarkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!