Untuk Anda yang berbaring tapi otaknya masih jalan.
Archipelagotimes.com – Di sebuah kafe kecil di Sukajadi, Bandung, seorang pemuda bernama Dani duduk sambil menyeruput kopi sachet yang diseduh pakai dispenser warung. Di tangannya, layar ponsel memuat berita yang bikin jidatnya mengernyit: “KPK menyita motor dari rumah Ridwan Kamil”. Bukan karena motornya, tapi karena yang dibongkar bukan hanya kendaraan—tapi sebuah dugaan skema korupsi dana CSR bank daerah, yang katanya untuk ‘kemaslahatan umat’.
Ternyata, di tengah program CSR bank yang dirancang seindah tagline “memberdayakan ekonomi lokal”, ada celah yang dimanfaatkan secara sistemik. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun lalu mencatat, potensi penyelewengan dana CSR di level pemerintah daerah mencapai lebih dari Rp200 miliar. Uangnya besar, narasinya mulia, tapi eksekusinya—kadang lebih mirip proposal anak magang yang disunat kiri-kanan.
Ridwan Kamil, yang dulu dielu-elukan karena taman kota dan gaya medsos nyentrik, kini namanya nyangkut di dokumen penyidikan KPK. Ironisnya, di antara tanaman hias yang ia bangun saat jadi gubernur, ada juga ‘bibit’ skandal yang mulai tumbuh. “Pokoknya motor lah, saya enggak hafal merek itu,” kata penyidik Asep, seolah-olah yang disita cuma vespa pinjaman, bukan simbol dari dugaan praktik yang lebih dalam.
Pertanyaannya: seberapa jauh sebenarnya peran seorang pejabat dalam skema seperti ini? Dan kapan sebenarnya kita bisa bilang bahwa “duduk di belakang” itu juga bagian dari kendali kemudi?