Berita

Paradoks RUU TNI: Kudeta Sunyi dalam Balutan Hukum?

×

Paradoks RUU TNI: Kudeta Sunyi dalam Balutan Hukum?

Sebarkan artikel ini

Archipelagotimes.com – Reformasi 1998 menjadi titik balik sistem pemerintahan Indonesia dari era otoritarianisme menuju demokrasi. Salah satu hasil terpentingnya adalah pembatasan peran militer dalam urusan sipil, melalui hadirnya UU TNI yang membatasi keterlibatan TNI hanya pada 10 posisi strategis di pemerintahan.

Namun, badai polemik muncul kembali di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Melalui Rancangan Undang-Undang Tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang baru, pemerintah berinisiatif menambah jatah posisi TNI dalam struktur pemerintahan menjadi 16 pos. Langkah ini memantik kekhawatiran luas, terutama di kalangan masyarakat sipil.

Founder Bupolo Connection, Ali Mansur Monesa, angkat bicara keras. Ia menilai inisiatif penambahan peran TNI dalam jabatan sipil merupakan langkah mundur dan bertentangan dengan prinsip demokrasi republik.

“RUU ini bisa menjadi bencana demokrasi. Ini bukan soal anti-TNI, ini soal menjaga ruang sipil agar tetap terbuka. Kalau posisi diambil TNI, masyarakat sipil akan kehilangan kesempatan,” tegas Ali dalam keterangan persnya. Kamis, (17/04/2025).

Yang lebih mengkhawatirkan, menurut Ali, pembahasan RUU TNI berlangsung secara tertutup di sebuah hotel di Jakarta, tanpa pelibatan publik atau transparansi. Ia menyebut ini sebagai “pembahasan diam-diam yang menimbulkan kecurigaan rakyat.”

RUU TNI dianggap menciptakan paradoks besar terhadap semangat reformasi 1998. Dulu, ABRI dipisahkan dari urusan sipil demi menjamin profesionalisme militer dan demokrasi yang sehat. Kini, semangat itu diuji kembali.

“Negara kita sudah sepakat menganut sistem demokrasi. UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) menjamin hak yang sama bagi seluruh warga negara. Kalau TNI diprioritaskan masuk ke pemerintahan, bagaimana nasib jutaan rakyat sipil, apalagi yang masih menganggur dan berpendidikan tinggi?” lanjut Ali.

Bupolo Connection mendesak pemerintah dan DPR untuk fokus pada isu-isu prioritas seperti pengangguran dan penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat sipil, bukan malah memperluas jalur kekuasaan militer dalam birokrasi.

“Sampai hari ini, kita masih punya PR besar: pengangguran berijasah. Harusnya yang dikejar adalah peluang kerja, bukan membagi kursi ke lembaga bersenjata. Rakyat sipil juga punya hak membangun negeri ini,” tutup Ali.

Gelombang penolakan terhadap RUU TNI terus meluas. Aksi mahasiswa, kelompok sipil, dan aktivis lintas organisasi menyuarakan kekhawatiran yang sama: kembalinya dominasi militer secara halus melalui jalur administratif.

Kini, semua mata tertuju ke DPR dan Pemerintah. Apakah mereka akan mendengar suara rakyat, atau justru kembali membuka jalan bagi bayang-bayang masa lalu?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!