Oleh: Andi Baso Amirul Haq
Archipelagotimes.com – Dalam pusaran opini publik yang cepat dan keras, kita semakin mudah tergoda untuk menilai seseorang tanpa bukti, dan menghakimi sebelum mendengar penjelasan. Tuduhan terhadap Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, terkait keterlibatannya dalam bisnis judi online di Kamboja, menjadi potret buram dari kecenderungan itu. Di tengah derasnya desas-desus dan insinuasi, kita seolah lupa pada prinsip paling mendasar dalam kehidupan beradab: menilai seseorang berdasarkan rasionalitas dan martabatnya sebagai manusia, bukan berdasarkan prasangka.
Filsuf Jerman, Immanuel Kant, dalam Critique of Pure Reason dan Groundwork for the Metaphysics of Morals, meletakkan fondasi penting bagi etika modern. Baginya, manusia bukan semata objek dari sistem, melainkan subjek moral yang harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri bukan sebagai alat untuk tujuan lain. Tuduhan tanpa dasar kepada Dasco adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip ini. Ia tidak dilihat sebagai pribadi yang rasional dan bermartabat, tetapi sebagai alat untuk membangun narasi atau bahkan merusak citra politik tertentu.
Kant menekankan bahwa akal budi praktis menuntun kita pada moralitas. Moralitas tidak lahir dari emosi atau kepentingan politik, melainkan dari imperatif kategoris keharusan moral yang berlaku universal. Dalam konteks ini, menyebarkan tuduhan tanpa bukti bukan hanya tindakan yang tidak etis, melainkan mencederai asas rasionalitas dan keadilan yang menjadi fondasi masyarakat sipil. Bila kita membenarkan tuduhan kepada Dasco hanya karena ia pejabat publik atau kader partai tertentu, maka kita turut melanggengkan sistem penilaian yang timpang dan tidak manusiawi.
Sebagaimana diketahui, hingga kini tidak ada dokumen yang menunjukkan kepemilikan, investasi, atau kendali Dasco atas bisnis judi online tersebut. Namanya disebut hanya melalui asosiasi kabur dengan aktor-aktor bisnis di Kamboja. Tanpa bukti material, insinuasi semacam ini tidak lain adalah bentuk penghakiman berbasis persepsi. Kant menyebut tindakan seperti ini sebagai bentuk kejahatan terhadap rasionalitas, karena menempatkan manusia dalam posisi bersalah sebelum diberikan ruang untuk menjelaskan.
Ketika Kant berkata, “Sapere aude!”—beranilah berpikir dengan akalmu sendiri—ia mengajak kita untuk membebaskan diri dari dogma dan tekanan kolektif. Maka, dalam menyikapi kasus ini, keberanian untuk bersikap adil dan berpikir jernih jauh lebih bermoral daripada bergabung dalam paduan suara yang memuja prasangka.
Tentu saja, tidak ada manusia yang kebal terhadap kritik. Tetapi kritik harus didasarkan pada prinsip etis dan bukti yang dapat diverifikasi. Jika benar Sufmi Dasco Ahmad terlibat, maka proses hukum harus berjalan. Tetapi jika tidak, maka kita semua bertanggung jawab untuk memulihkan kehormatan yang telah dirusak oleh penghakiman prematur.
Indonesia tidak hanya membutuhkan hukum yang adil, tapi juga masyarakat yang rasional. Di sinilah Kant menjadi relevan. Ia mengingatkan kita bahwa moralitas bukan terletak pada hasil, melainkan pada niat dan cara kita bertindak. Menuduh tanpa bukti bukanlah ekspresi moralitas, melainkan kemunduran akal budi.
Dan dalam masyarakat yang menjunjung martabat, akal budi seharusnya tetap menjadi kompas bukan amarah, bukan gosip, dan bukan sensasi.