Archipelagotimes.com – Erick Thohir kembali jadi buah bibir. Bukan soal sepak bola atau konser Coldplay, tapi karena masalah yang lebih serius: pelanggaran aturan yang dia buat sendiri.
Dalam Permen BUMN Nomor PER-3/MBU/03/2023 yang diteken langsung oleh Erick pada 20 Maret 2023, disebutkan secara tegas bahwa penunjukan direksi dan komisaris di tubuh BUMN harus bebas dari unsur politik praktis. Tapi faktanya, publik kini menyoroti adanya sejumlah penunjukan komisaris yang justru berasal dari pengurus partai, bahkan calon legislatif.
“Ini aneh. Erick Thohir yang buat aturannya, tapi dia juga yang langgar,” tegas pengamat politik Fernando dalam keterangannya.
Fernando mengutip Pasal 18 ayat (1) dalam Permen tersebut yang berbunyi:
“Penunjukan direksi dan komisaris BUMN tidak berasal dari pengurus partai politik, calon anggota legislatif, dan/atau anggota legislatif di semua level.”
Dengan kata lain, aturan itu seharusnya jadi pagar etika agar BUMN tidak jadi ajang balas budi politik. Tapi kenyataannya? Deretan nama komisaris yang belakangan diangkat justru memicu kecurigaan publik akan praktik “bagi-bagi kursi.”
BUMN: Arena Profesional atau Ajang Politik?
Kritik keras ini mencerminkan keresahan publik terhadap praktik “komisaris politis” yang makin vulgar. Ada kekhawatiran, jabatan strategis di BUMN dijadikan ladang konsesi politik bagi parpol yang berkuasa.
“Kalau menterinya sendiri nggak patuh, gimana bawahannya?” sindir Fernando.
Ia juga mengingatkan, kepercayaan publik bisa runtuh jika pemerintahan terus melanggengkan praktik nepotisme gaya baru ini. Apalagi di tengah isu reshuffle dan tensi politik menjelang 2029, penempatan orang-orang partai di posisi strategis makin bikin publik curiga.
Reformasi atau Retorika?
Erick Thohir yang selama ini dijual sebagai wajah muda reformis di kabinet, kini justru diterpa tudingan kontradiktif. Di satu sisi, ia gencar bicara soal transformasi BUMN, namun di sisi lain, praktiknya justru berseberangan dengan semangat meritokrasi.
Pertanyaannya sekarang: apakah ini bentuk kelalaian, atau memang disengaja demi stabilitas politik?
Jika aturan yang dibuat sendiri saja bisa dilanggar, bagaimana publik bisa percaya pada komitmen reformasi? Saatnya publik makin kritis dan tidak diam melihat BUMN dijadikan “hadiah politik.”