Penulis : Bima Putra Haryashena S.H
Archipelagotimes.com – RUU KUHAP akhir-akhir ini banyak sekali menjadi topik pembahasan yang cukup hangat dikalangan mahasiswa, praktisi hingga Akademisi Hukum itu sendiri, dimana point-point didalam RUU KUHAP masih banyak pasal yang dianggap belum sesuai dan belum memenuhi Law of Principal, sehingga prosesi pembahasan didalam Legislatif masih cukup mengambang hingga saat ini.
Hal itu tentu saja membuat paradigma masyarakat menganggap bahwa RUU KUHAP adalah Undang-undang yang kemudian menyisipkan banyak kepentingan didalamnya. KUHAP adalah suatu otoritas pelindung terhadap suatu proses acara pidana pada tahap penyelidikan hingga putusan (Judicial security), akan tetapi masih ada beberapa substansi yang kemudian memberikan suatu ruang terhadap terjadinya Konflick of interest didalam tubuh instansi yang memiliki kewenangan menjalankan Hukum acara Pidana itu sendiri, seperti halnya pasal 42 RUU KUHAP terkhususnya didalam ayat 2 dan 4, substansi didalam ayat 2 tersebut menerangkan tentang “Penyidik dapat mengabulkan permintaan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan perlu atau tidaknya Tersangka tetap ditahan atau tetap ada dalam tahanan”. Dan tertuang juga didalam ayat 4 “Atasan Penyidik dapat mengabulkan permintaan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan mempertimbangkan perlu atau tidak Tersangka tetap ditahan atau tetap berada dalam tahanan”.
Menurut Hemat Penulis, Pasal tersebut secara langsung memberikan suatu substansi yang multitafsir dan mengakibatkan suatu penilaiaan subyektif terhadap kelayakan status tersangka dapat ditahan atau tidaknya, sehingga ada suatu keabsurdtan terhadap parameter apa yang menjadi pertimbangan Penyidik untuk memberikan kelayakan bahwa Tersangka tersebut dapat ditahan dan tidaknya, pasal ini memberikan ruang yang inkonsisten terhadap suatu kepastian dalam prinsip Hukum pidana tentang Presumption of guilty guna memberikan upaya prefentif terhadap terjadinya suatu Tindakan penghilangan Alat Bukti dan pidana berjenjang yang dilakukan oleh tersangka, sehingga akan melahirkan conflick of Interest dalam tataran penyidikan.
Sama hal nya didalam ayat (2d dan 3) pasal 70 RUU KUHAP tentang imbalan dan jaminan terhadap pelaku yang telah melakukan suatu perbuatan pidana, hal tersebut memberikan suatu inkonsistensi terhadap kepastian hukum dan membuka peluang terjadinya conflick of interest didalam tubuh Kejaksaan dan peluang keuntungan bagi pelaku yang sangat massif tergantung bagaimana pola negoisasi internalnya.
Menurut hemat penulis pasal 70 ayat 2 dan 3 didalam RUU KUHAP sangat tidak mencerminkan integritas dan moralitas hukum pidana dimana penerapan sanksi yang dituangkan di dalam tuntutan tergantung dari hasil negosiasi antara pelaku dan JPU, jelas hal ini mengakibatkan rusaknya marwah hukum pidana, karna saat berbicara pasal 70 ayat 2d dan 3 maka dapat dianalogikan seorang koruptor yang kemudian menimbulkan kerugian yang sangat massif bagi masyarakat banyak akan tetapi karna Tindakan koperatif maka mendapatkan imbalan dengan penurunan masa sanksi tergantung pada pola negosiasinya.
Didalam RUU KUHAP memang benar Indonesia menjunjung spirit Restoratif yang kemudian mengadopsi paaradigma aliran Hukum Modern akan tetapi perlu ada suatu Batasan tertentu terhadap bagaimana tetap menjaga prinsip-prinsip Humanis dalam prespektif Korban, dalam kajian Teoritis sekalipun pandangan Hukum pidana pun tidak terlepas dari paradigma Kriminologi dan Viktimologi sehingga dalam hal ini kita perlu memahami yang Namanya Psychologi Security of Victims, sehingga para pembentuk Undang-undang mengetahui alasan mendasar terhadap suatu penolakan tentang seorang penjahat yang diberi ruang bebas.