Archipelagotimes.com – Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh setiap 2 Mei kembali menjadi momen reflektif. Meski pemerintah terus menggaungkan semangat “merdeka belajar”, berbagai data menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih jauh dari ideal.
Noralia Ulfa, mahasiswi Pascasarjana Universitas Indonesia yang aktif dalam advokasi pendidikan, menilai bahwa Hardiknas kerap menjadi seremoni belaka, tanpa pembacaan kritis terhadap kondisi nyata dunia pendidikan.
“Setiap tahun kita rayakan Hardiknas dengan slogan indah, tapi kenyataannya kemampuan literasi siswa justru terus menurun. Ini bukan hanya soal pendidikan gagal, tapi tentang negara yang belum serius menjamin hak belajar yang bermakna,” ujar Noralia kepada Archipelago Times, Kamis (1/5/2025).
Krisis Literasi di Tengah Retorika
Laporan Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 mencatat skor literasi membaca siswa Indonesia turun menjadi 359, yang terendah sejak 2000. Meski Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) naik menjadi 73,52 pada 2024, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Data Rapor Pendidikan 2023 mencatat hanya 61,53% siswa SD yang memiliki kompetensi literasi di atas standar minimum. Sementara itu, anak-anak Indonesia—khususnya Generasi Z—dilaporkan menghabiskan rata-rata 8 jam 42 menit per hari di dunia digital, namun hanya 8 menit untuk membaca buku.
Noralia menyoroti masih minimnya budaya literasi di sekolah. Banyak perpustakaan yang tidak difungsikan, guru yang terjebak dalam beban administratif, serta kegiatan membaca yang hanya bersifat instruksional, bukan inspiratif.
“Literasi bukan hanya soal teknis membaca, tapi bagaimana sekolah memahami kehidupan murid. Ada anak-anak yang tidak bisa belajar karena lapar, trauma, atau bahasa buku yang asing bagi mereka,” jelasnya.
Ketimpangan akses antara daerah perkotaan dan kawasan 3T (terdepan, terluar, tertinggal) juga menjadi sorotan. Di banyak wilayah, fasilitas pendidikan masih sangat minim, termasuk keterbatasan guru, buku yang sudah usang, dan akses internet yang buruk.
“Masalah literasi ini struktural. Siapa yang menentukan konten buku? Kenapa masih jauh dari konteks lokal? Kebijakan literasi sering berhenti di pelatihan, bukan pendampingan,” tambah Noralia.
Menurutnya, peringatan Hardiknas seharusnya menjadi momentum untuk mengkaji ulang arah pendidikan nasional. Merdeka belajar, katanya, bukan sekadar jargon, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan yang menjamin akses dan kualitas belajar yang setara.
“Jika sekolah terus gagal membaca realitas zaman, maka murid akan terus kesulitan membaca masa depannya sendiri. Literasi sejati bukan hanya tentang membaca teks, tapi membaca kehidupan,” pungkasnya.