Oleh: Noralia Ulfa
Archipelagotimes.com – Setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Spanduk, slogan, dan pidato para pejabat mengisi ruang publik dengan harapan dan semangat “merdeka belajar.” Tapi pertanyaannya: seberapa merdeka anak-anak kita dalam belajar, ketika kemampuan literasi mereka justru terus menurun?
Data terbaru dari Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukkan bahwa skor literasi membaca siswa Indonesia turun drastis menjadi 359 poin, angka terendah sejak Indonesia pertama kali ikut serta pada tahun 2000. Ini bukan sekadar angka—ini adalah cermin. Cermin bahwa kita sedang gagal.
Sementara itu, Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) memang naik dari 69,42 (2023) menjadi 73,52 (2024). Tapi peningkatan angka ini tidak sejalan dengan kondisi di lapangan. Data dari Rapor Pendidikan 2023 mencatat, hanya 61,53% siswa SD yang punya kompetensi literasi di atas standar minimum. Apakah kita mau terus terbuai statistik yang hanya bagus di atas kertas?
Ironisnya, generasi Z Indonesia lebih betah berselancar di internet daripada membaca buku. Rata-rata, mereka menghabiskan 8 jam 42 menit per hari lebih di dunia digital, tapi hanya 8 menit untuk membaca. Minat baca bukan sekadar rendah, tapi nyaris hilang.
Lalu siapa yang salah? Orang tua? Guru? Pemerintah? Atau sistem pendidikan yang kita anggap sudah benar?
Fakta lainnya, banyak sekolah masih belum menjadikan literasi sebagai budaya. Perpustakaan sekolah kosong atau terkunci. Guru dibebani administrasi ketimbang kreativitas mengajar. Anak-anak disuruh membaca, tapi tak pernah diajak mencintai bacaan.
Pendidikan kita, secara sistemik, masih gagal membaca realitas zaman. Kita bicara soal kecerdasan buatan, big data, dan transformasi digital, tapi anak-anak kita masih tertatih memahami paragraf sederhana.
Hardiknas seharusnya bukan sekadar perayaan tahunan. Ini adalah saat yang paling tepat untuk berhenti mengulang janji kosong. Pendidikan tidak hanya tentang kurikulum dan infrastruktur, tapi tentang kemampuan membaca zaman, memahami tantangan, dan membekali generasi dengan daya kritis serta empati.
Hardiknas bukan soal seragam dan upacara. Ia adalah pengingat: bahwa pendidikan bukan tentang angka, tapi tentang membangun manusia yang mampu berpikir, merasa, dan bermakna. Jika sekolah masih gagal membaca realitas sosial dan kebutuhan zaman, maka murid pun akan tumbuh sebagai generasi yang tidak mengenal dirinya dan bangsanya.
Pendidikan yang gagal membaca realitas, akan terus melahirkan generasi yang bingung membaca masa depan. Maka mari kita kembalikan ruh pendidikan: bukan hanya mengajar, tapi membebaskan. Bukan sekadar mendidik, tapi juga menghidupkan harapan.
Kalau sekolah masih gagal membaca realitas, bagaimana bisa kita berharap murid mampu membaca masa depannya?
Namun perlu kita sadari, krisis ini bukan hanya soal kemampuan membaca teks, melainkan tentang kebutaan sistemik terhadap konteks sosial, ekonomi, dan budaya di mana anak-anak itu tumbuh. Sekolah, dalam banyak kasus, gagal memahami realitas muridnya sendiri—tentang kemiskinan yang memaksa mereka bolos, tentang bahasa rumah yang berbeda dari bahasa buku, atau tentang trauma yang tak pernah disapa dalam pelajaran manapun.
Ini semua menunjukkan bahwa literasi sejati bukan hanya soal membaca huruf, tetapi membaca kehidupan. Dan di sinilah sekolah kehilangan arah. Karena ketika pendidikan hanya dibatasi pada capaian angka dan laporan rutin, maka yang tercipta bukanlah pembelajar sejati, melainkan generasi yang sekadar patuh pada sistem, tapi asing terhadap dirinya sendiri.
Tak hanya itu, ketimpangan infrastruktur dan distribusi sumber daya pendidikan turut memperparah situasi. Di kota besar, akses terhadap teknologi dan buku relatif mudah. Tapi bagaimana dengan daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal)? Banyak sekolah masih berjuang dengan guru yang terbatas, akses internet minim, bahkan buku paket yang sudah usang. Apa yang bisa dibaca oleh anak-anak jika buku pun tak tersedia?
Masalah literasi di Indonesia tak bisa dipandang hanya dari sisi teknis. Ia adalah isu politik dan struktural. Siapa yang menentukan konten bacaan di sekolah? Mengapa buku-buku yang disediakan negara seringkali jauh dari konteks lokal siswa? Mengapa kebijakan literasi lebih banyak berhenti di pelatihan dan lomba, bukan pada pendampingan dan pemulihan? Ini pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya muncul pada setiap momen Hardiknas.
Lebih jauh, jika kita ingin sungguh-sungguh menyelamatkan literasi, kita juga harus membicarakan literasi sebagai hak, bukan hanya tanggung jawab siswa. Negara wajib menjamin bahwa setiap anak, di mana pun berada, punya kesempatan yang sama untuk belajar membaca, menulis, dan berpikir kritis. Tanpa itu, jargon “merdeka belajar” hanya akan menjadi ilusi yang tak pernah menyentuh akar realitas pendidikan kita.
Biodata Penulis:
Noralia Ulfa mahasiswi Pascasarjana Universitas Indonesia, pengamat pendidikan, aktif dalam advokasi literasi dan transformasi pendidikan digital.