Archipelagotimes.com – Gimana rasanya jadi rakyat Indonesia? Ibarat punya rumah kebakaran, tapi malah disuruh hemat air. Pemerintah berkali-kali bilang anggaran seret, defisit membesar, utang naik, tapi solusi yang ditawarkan? “Mari kita hidup sederhana, ayo puasa bersama.” What?
Ekonomi Lesu, Rakyat yang Disuruh Diet
Di tengah ruwetnya persoalan fiskal, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyatakan bahwa outlook defisit APBN 2025 diperkirakan mencapai 2,45% dari PDB atau sekitar Rp610 triliun. Di saat yang sama, utang pemerintah sudah tembus Rp8.300 triliun per Maret 2025, menurut data Kementerian Keuangan.
Lalu, siapa yang harus menanggung beban defisit itu? Ya, kita semua—rakyat jelata. Mulai dari subsidi dicabut, iuran BPJS naik, pajak merangkak, sampai harga sembako yang enggak kenal kasihan. Bahkan, istilah “puasa” bukan cuma soal agama lagi, tapi gaya hidup yang dipaksa karena harga daging dan minyak goreng makin menjulang.
Pemerintah: “Ayo Hidup Hemat!”
Pernah dengar kampanye “hidup hemat” yang digaungkan pemerintah ketika inflasi naik? Ironis, karena dalam waktu yang sama, anggaran belanja kementerian dan lembaga tetap tinggi, perjalanan dinas jalan terus, dan proyek-proyek mercusuar tetap dikucurkan dana jumbo.
Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2024, setidaknya Rp 18,3 triliun anggaran kementerian masih digunakan tidak efisien. Tapi entah kenapa, solusi pertama selalu jatuhnya ke pemotongan subsidi rakyat.
Realita yang Pahit: Rakyat Bukan Kantong Ajaib
Gaji minimum naik secuil, tapi harga kebutuhan naik sekarung. Laporan Bank Dunia 2024 mencatat bahwa 41% rumah tangga Indonesia mengalami tekanan daya beli, dengan 1 dari 4 keluarga tidak yakin bisa memenuhi kebutuhan pokok selama 12 bulan ke depan.
Namun, pemerintah tetap optimistis bahwa “masyarakat kuat, rakyat tangguh”. Tangguh dari mana? Kalau satu-satunya harapan cuma nyari diskon di e-commerce sambil nunggu THR cair.
Kalau Negara Gagal Kelola, Jangan Rakyat yang Dipersalahkan
Kritik ini bukan buat menyalahkan satu pihak. Tapi kita harus jujur: kebijakan ekonomi yang tidak adil tidak akan pernah menghasilkan kesejahteraan. Jika elite gagal menyusun prioritas, rakyat tidak bisa terus diminta jadi korban. Kita bukan kantong ajaib Doraemon yang bisa terus dimintai sabar dan pengertian.
Kalau negara mulai goyang, bukan rakyat yang harus diajak puasa duluan—tapi belanja negara yang harus diet gila-gilaan.
Sumber Data:
- Kementerian Keuangan RI (APBN Kita Edisi Maret 2025)
- Laporan Statistik Utang Pemerintah, DJPPR, 2025
- Laporan BPK RI 2024 – Efisiensi Belanja Kementerian
- Bank Dunia – Indonesia Economic Prospects December 2024