Opini

KDRT Dominasi Kasus Kekerasan Perempuan di Awal 2025

×

KDRT Dominasi Kasus Kekerasan Perempuan di Awal 2025

Sebarkan artikel ini
Medhira Iswara, mahasiswi Pascasarjana Program Studi Sistem Peradilan Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, aktif menyuarakan persoalan kesetaraan gender di organisasi Youth On Policy dan media sosialnya.

Oleh : Medhira Iswara (Mahasiswi Pascasarjana Program Studi Sistem Peradilan Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia).

Archipelagotimes.com – Permulaan tahun 2025 diwarnai dengan banyak kabar pilu, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung pada femisida, atau pembunuhan perempuan karena identitas gendernya, masih mendominasi kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Setiap tahun, media massa dan laporan lembaga perlindungan perempuan terus mengabarkan kisah tragis perempuan yang kehilangan nyawa di tangan rekan, pasangan atau anggota keluarga sendiri. Motifnya pun beragam, mulai dari kecemburuan, penolakan hubungan seksual, hingga masalah ekonomi.

Beberapa kasus terbaru yang terjadi di awal tahun 2025 memancing amarah, pertama terjadi di Maros, Sulawesi Selatan. Seorang suami membunuh istrinya dikarenakan geram kepada istrinya yang menyuruh ia mencari kerja. Kemudian tidak lupa kejadian yang sempat viral saat banjir besar di Sukabumi, dimana seorang suami mengunci istri dan anaknya di kala banjir besar yang menyebabkan hilangnya nyawa kedua keluarganya tersebut, dan ditemukan dalam kondisi berpelukan pada Jum’at 7 Maret 2025. Dari banyaknya kasus ini benang merahnya tetap sama: perempuan menjadi korban karena status gendernya, dan pelaku kerap mendapat ruang impunitas akibat lemahnya respons hukum dan budaya patriarki yang mengakar.

Dilansir dari data yang didapatkan melalui Simfoni PPA sejak 1 Januari 2025 hingga hari ini, jumlah kasus berdasarkan tempat kejadian paling banyak adalah rumah tangga. Didapatkan bahwa dari 8.384 korban berdasarkan tempat kejadian, 5.189 korban merupakan korban dari kekerasan rumah tangga. Kemudian dari 7.887 kasus, 4.892 diantaranya merupakan kasus yang terjadi di lingkungan rumah tangga. Data ini memperlihatkan bahwa sebagian besar perempuan dihabisi oleh orang yang paling ia percaya yakni ayah atau suaminya sendiri, sebuah ironi besar bagi sosok keluarga yang seharusnya saling melindungi.

Data jumlah korban berdasarkan tempat kejadian.

Menelusuri Akar Masalah dengan Feminist Legal Theory

Untuk memahami mengapa KDRT dan femisida terus berulang, kita perlu menelaah lebih dalam menggunakan lensa teori feminisme, khususnya feminist legal theory. Teori ini menyoroti bagaimana sistem hukum dan norma sosial sering kali berpihak pada laki-laki, serta mengabaikan pengalaman dan kerentanan perempuan. Hukum dibentuk dalam struktur sosial yang patriarkal dan hirarkis Hukum yang ada, meski telah mengatur larangan kekerasan, sering kali gagal memberikan perlindungan maksimal bagi perempuan karena bias gender yang melekat di dalamnya.

Dalam praktiknya, korban KDRT kerap dihadapkan pada stigma dan victim blaming. Mereka dianggap mempermalukan keluarga jika melapor, atau bahkan disalahkan karena dianggap tidak mampu menjaga keharmonisan rumah tangga. Aparat penegak hukum pun sering kali meremehkan laporan korban, atau mendorong penyelesaian secara kekeluargaan, sehingga pelaku tidak mendapat hukuman setimpal. Inilah yang disebut Facially Neutral Law hukum yang tampak netral secara tertulis namun pada praktiknya tidak netral gender. Hukum dibentuk dan dijalankan dalam kerangka patriarki yang menormalisasi kekerasan terhadap perempuan. Femisida adalah puncak dari siklus kekerasan berbasis gender. Ia bukanlah sekedar pembunuhan, melainkan bentuk ekstrim dari dehumanisasi perempuan. Dalam banyak kasus, femisida didahului oleh rangkaian kekerasan yang diabaikan, baik oleh lingkungan sekitar maupun oleh sistem hukum. Ketika korban berulang kali gagal mendapatkan perlindungan, risiko kehilangan nyawa pun semakin besar.

Perjuangan melawan KDRT dan femisida bukanlah perkara mudah. Ia membutuhkan perubahan mendasar, baik dalam sistem hukum, kebijakan, maupun budaya dalam masyarakat. Pendidikan mengenai kesetaraan gender, pelatihan sensitif gender bagi aparat penegak hukum, serta penguatan layanan pendampingan korban adalah beberapa langkah penting yang harus terus didorong. Lebih dari itu, kita perlu membangun kesadaran kolektif bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia yang tidak bisa ditoleransi. Setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki hak yang sama untuk hidup aman dan bermartabat. Negara, sebagai pemangku kewajiban, harus hadir secara nyata dalam memberikan perlindungan dan keadilan bagi korban.

Penutup

2025 seharusnya menjadi momentum refleksi dan perubahan. Kasus KDRT yang berujung femisida bukan sekadar tragedi individu, tapi kegagalan sistemik yang harus diatasi bersama. Dengan memahami akar masalah melalui perspektif feminisme, kita diajak untuk tidak hanya berempati, tetapi juga bergerak aktif mendorong perubahan hukum dan budaya. Hanya dengan begitu, perempuan Indonesia bisa benar-benar merasakan rumah sebagai tempat aman, bukan ruang ancaman.

Untuk diketahui, Medhira Iswara, mahasiswi Pascasarjana Program Studi Sistem Peradilan Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, aktif menyuarakan persoalan kesetaraan gender di organisasi Youth On Policy dan media sosialnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *