Archipelagotimes.com – Di negeri yang katanya demokratis ini, anak muda potensial seringkali cuma jadi penggembira. Mereka punya ide segar, semangat tinggi, dan visi besar. Tapi begitu masuk arena kompetisi, muncul satu sosok “anak pejabat” yang belum tentu paham kerja lapangan, tapi sudah duduk di kursi strategis—lengkap dengan senyum khas hasil warisan politik keluarga. Rasanya seperti nonton sinetron politik, cuma bedanya: ini nyata.
Meritokrasi? Sudah lama dikalahkan oleh nepotisme yang dibungkus rapi dengan kata “penugasan”. Sistem politik kita makin mirip kerajaan modern: jabatan diturunkan, bukan dicapai. Anak pejabat bisa tiba-tiba jadi caleg, komisaris, atau staf khusus, padahal anak muda lain masih berjuang dengan CV yang ditolak-tolak.
Lucunya, politik kita selalu kampanye soal “kesetaraan”, tapi realitanya: yang punya jalur tol koneksi tetap sampai lebih dulu.
Kalau hari ini kita diam, besok bukan hanya karier yang kalah, tapi masa depan demokrasi itu sendiri. Apakah kita masih percaya pada politik yang berpihak pada rakyat, atau sudah pasrah jadi penonton dinasti elite?
Yuk, suarakan pendapatmu di kolom komentar. Karena perubahan kadang dimulai dari satu kalimat yang cukup lantang untuk bikin para pejabat resah.