Archipelagotimes.com – Harapan pelaku usaha tembakau lokal Madura akhirnya menemukan titik terang. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Selasa (27/5/2025) di Gedung DPR RI, Komisi XI menyatakan dukungan terbuka terhadap legalisasi dan penguatan industri rokok Madura yang selama ini kerap termarjinalkan.
Ketua Komisi XI, Mukhamad Misbahkun, menegaskan bahwa sudah saatnya pemerintah melihat potensi ekonomi lokal, bukan hanya fokus pada raksasa-raksasa rokok nasional.
“Kami mendorong penguatan rokok lokal Madura, termasuk melibatkan mereka dalam pembahasan kebijakan cukai. Jangan lagi hanya perusahaan besar yang didengar,” ujar Misbahkun dengan nada serius.
Ia juga mengapresiasi kontribusi nyata pengusaha lokal yang menyerap hasil panen petani tembakau Madura, yang sayangnya selama ini kerap terpinggirkan dalam kebijakan nasional.
Ketua Umum APTMA, Holili, menyuarakan keresahan klasik tapi krusial: data produksi tembakau yang tak terurus. “Bayangin, data wilayah tembakau Madura terakhir cuma sampai 2022. Setelah itu? Nggak ada! Padahal di tahun itu saja produksinya tembus 18 ton,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti mahalnya pita cukai yang bikin pengusaha kecil megap-megap. “Pengusaha lokal beli tembakau bisa sampai Rp100 ribu per kilo, sedangkan perusahaan besar cuma Rp20–40 ribu. Ini jelas timpang,” tegasnya.
Holili pun mengusulkan tarif cukai khusus Golongan III—sekitar Rp350–400 per gram—agar rokok lokal bisa bersaing secara legal dan tak terus-menerus ditekan oleh aparat saat masuk ke luar Madura.
“Rokok tanpa cukai sering jadi solusi bertahan, tapi malah ditekan. Padahal ini industri rakyat, bukan kartel besar,” tambahnya.
Anggota Komisi XI lainnya, Erik Hermawan, menyoroti perlakuan tidak adil terhadap pengusaha rokok lokal saat membawa barang keluar Madura.
“Banyak dari mereka ditahan aparat meski nggak ada pelanggaran yang jelas. Kita nggak bisa terus pakai pendekatan represif. Perlu solusi konkret antara pemerintah, aparat, dan pelaku usaha,” ujarnya.
Erik juga mengingatkan, Sigaret Kretek Tangan (SKT) bukan sekadar rokok, tapi bagian dari budaya Madura. “Kalau mau ngomong soal pertumbuhan ekonomi inklusif, maka pelaku usaha kecil harus diberi ruang. Apalagi ini menyangkut budaya lokal,” pungkasnya.