Dukungan kalian bikin semangat terus berkarya! Kalau suka kontennya, boleh banget traktir kopi via Saweria
Archipepagotimes.com – 1 Juni datang lagi, dan seperti ritual tahunan, Pancasila kembali jadi bintang utama—terpampang megah di spanduk, berkibar di bendera, dan jadi tema upacara penuh khidmat. Tapi masalahnya, Pancasila seringkali cuma jadi pajangan gagah, sementara implementasinya? Ya, bisa dibilang masih lemah banget.
Bayangkan, di satu sisi, slogan “Bhinneka Tunggal Ika” menghiasi jalan-jalan, tapi di sisi lain, intoleransi masih subur berkembang seperti rumput liar. Rumah ibadah masih sering diprotes, masyarakat minoritas sering dilecehkan, dan aparat kadang malah ikut-ikutan cuek.
Nilai keadilan sosial yang diusung sila kelima? Seperti aur dengan tebing, janji dan kenyataan tak kunjung bertemu. Rakyat kecil terus berjuang melawan sistem yang malah memperbesar jurang kesenjangan.
Masih ingatkah kita tentang sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan? Sayangnya, musyawarah yang seharusnya jadi tempat suara rakyat didengar, sering berubah jadi arena drama politik dengan banyak kepentingan tersembunyi.
Ini bukan kritik kosong, tapi fakta yang terpantau di lapangan. Jika Pancasila benar-benar diterapkan, maka rakyat tak perlu lagi ragu untuk berharap dan percaya pada negara. Tapi kenyataannya, banyak yang merasa Pancasila cuma “wacana” yang gagah di atas kertas, dan lemah di tangan pelaksana.
Jangan salahkan rakyat jika kemudian mulai skeptis dan muak. Bukankah hak mereka untuk mempertanyakan kenapa nilai luhur itu tak pernah mereka rasakan secara nyata?
Hari Lahir Pancasila harusnya bukan sekadar seremonial. Ia harus jadi momen evaluasi jujur dan langkah nyata memperbaiki implementasi. Supaya Pancasila tak cuma gagah di spanduk, tapi juga kuat di lapangan.
Kalau tidak, Pancasila cuma jadi hiasan—cantik dilihat, tapi tak berguna menguatkan pondasi bangsa.