Nasional

Maluku Menuju Mandiri: Menata Ulang Potensi Laut, Rempah, dan SDM

×

Maluku Menuju Mandiri: Menata Ulang Potensi Laut, Rempah, dan SDM

Sebarkan artikel ini
Saldi Matdoan, akademisi Universitas Negeri Yogyakarta,
Saldi Matdoan, akademisi Universitas Negeri Yogyakarta (Ist)

Archipelagotimes.com – Maluku bukan hanya gugusan pulau yang eksotis di timur Indonesia. Di balik keindahan alam dan sejarah rempahnya, Maluku menyimpan potensi besar yang belum sepenuhnya tergarap. Dari laut yang kaya ikan, perkebunan pala dan cengkih, hingga destinasi wisata kelas dunia—semuanya masih menunggu disentuh oleh pembangunan yang serius dan berkelanjutan.

Saldi Matdoan, akademisi Universitas Negeri Yogyakarta, menilai kemajuan Maluku saat ini ibarat “kapal besar dengan mesin kecil”—potensinya luar biasa, tetapi tak bisa bergerak cepat karena minimnya pengelolaan dan infrastruktur.

Sektor perikanan menjadi tulang punggung Maluku. Dengan laut yang luas dan subur, Maluku menyumbang pasokan besar ikan nasional. Tapi sayangnya, sebagian besar nelayan masih mengandalkan peralatan tradisional dan minim perlindungan sosial.

“Modernisasi alat tangkap, pembentukan koperasi, dan pembangunan industri pengolahan hasil laut adalah keniscayaan jika kita ingin hasil laut tidak lagi diekspor dalam bentuk mentah,” ujar Saldi.

Produk olahan seperti ikan asap, ikan beku, atau makanan kaleng, bisa memberi nilai tambah tinggi, membuka lapangan kerja, dan memperkuat ekonomi lokal.

Maluku dikenal sebagai The Spice Islands sejak abad ke-16. Namun ironi terjadi—produktivitas pala dan cengkih justru menurun akibat usia tanaman yang menua, minim pelatihan petani, dan teknologi yang belum masuk ke ladang-ladang warga.

Solusinya? Revitalisasi total. “Perlu penanaman ulang secara masif, pelatihan petani berbasis teknologi, dan pembangunan sentra produk rempah untuk ekspor,” kata Saldi.

Pariwisata bahari Maluku punya pesona luar biasa: pantai perawan, dunia bawah laut, hingga budaya adat yang masih lestari. Tapi promosi minim dan buruknya akses antarpulau membuat sektor ini belum jadi primadona ekonomi lokal.

Saldi mendorong pendekatan pariwisata berbasis komunitas. “Jangan biarkan investor besar menyedot semua keuntungan. Libatkan warga lokal, UMKM, dan pemuda desa sebagai pelaku utama pariwisata,” katanya.

Tanpa SDM yang unggul, semua rencana pembangunan tinggal mimpi. Di Maluku, pendidikan masih jadi tantangan—terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Solusi yang ditawarkan antara lain penempatan guru secara proporsional, pembangunan sekolah berasrama di pulau-pulau kecil, hingga pemanfaatan teknologi digital untuk menjangkau wilayah tanpa guru tetap.

Tak hanya itu, pendidikan vokasional seperti SMK perikanan, pertanian, dan kelautan perlu diperkuat agar lulusan bisa langsung terserap di pasar kerja.

Kampus Harus Jadi Motor Riset Daerah, Universitas Pattimura dan perguruan tinggi lainnya di Maluku harus ambil peran lebih besar. Penelitian tentang studi laut tropis, pengolahan rempah, dan teknologi perikanan harus didukung penuh.

“Pemerintah pusat bisa membantu lewat alokasi dana riset, kolaborasi industri, dan beasiswa untuk mahasiswa yang meneliti potensi lokal,” ujar Saldi.

Jalan, jembatan, pelabuhan, dan jaringan telekomunikasi adalah tulang punggung pembangunan kepulauan. Program seperti tol laut dan pelabuhan perintis harus diarahkan untuk mendukung ekonomi rakyat, bukan hanya pengusaha besar.

Saldi menekankan pentingnya partisipasi masyarakat adat dalam pembangunan. “Jangan hanya jadi penonton. Kearifan lokal harus masuk dalam kebijakan,” ucapnya.

Warga Maluku yang sukses di luar daerah atau luar negeri bisa dilibatkan lewat platform “Maluku Membangun”—untuk investasi, pelatihan, hingga promosi.

“Maluku harus punya visi besar: provinsi kepulauan yang mandiri, berdaya saing, dan sejahtera. Bukan hanya tumbuh secara ekonomi, tapi juga bermartabat secara sosial dan budaya,” pungkas Saldi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!