Archipelagotimes.com – Isu potensi pecahnya Perang Dunia Ketiga atau WWIII kembali menggema di tengah eskalasi konflik antarnegara besar. Ancaman perang nuklir menjadi topik yang semakin relevan ketika tensi geopolitik dunia terus memanas, memunculkan kekhawatiran akan kehancuran berskala global.
Konflik bersenjata antar negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok tak lagi dianggap mustahil. Ketegangan di kawasan Indo-Pasifik, isu Ukraina, serta perlombaan senjata canggih menambah daftar potensi penyulut perang.
Menurut Abdullah Kelrey, Founder Nusa Ina Connection (NIC), dunia kini berada dalam fase “genting diplomasi”, di mana satu kesalahan strategi bisa menjadi pemicu konflik global yang tak terkendali.
“Bukan soal siapa lebih kuat, tapi siapa yang paling tidak sabar. Perang Dunia Ketiga bukan lagi dongeng. Ini ancaman nyata di era keterhubungan ekstrem,” ujar Abdullah Kelrey.
Kelrey menekankan bahwa pendekatan militer bukan solusi jangka panjang. Justru, diplomasi berbasis keadilan global dan ekosistem kerja sama lintas negara adalah kunci mencegah kehancuran massal.
“Jika eskalasi terus dibiarkan tanpa ruang dialog yang inklusif, maka risiko kehancuran umat manusia akan menjadi kenyataan. Bukan hanya secara fisik, tapi juga secara moral dan budaya,” tambahnya.
Sejumlah lembaga pemantau perdamaian global mencatat bahwa indikator potensi konflik besar kini berada pada titik kritis. Peringatan dari PBB dan para ahli keamanan internasional semakin sering terdengar, mendorong negara-negara untuk memperkuat jalur diplomasi.
Sejarah telah menunjukkan bahwa dunia pernah nyaris terseret ke jurang perang nuklir, seperti krisis rudal Kuba pada 1962. Namun kala itu, diplomasi berhasil menjadi benteng terakhir. Pertanyaannya kini: apakah dunia masih punya benteng serupa?