Teras Opini

Ketika Perhatian dan Kasih Sayang Tak Lagi Dihargai

×

Ketika Perhatian dan Kasih Sayang Tak Lagi Dihargai

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi

Penulis : Abdullah Kelrey – Founder Nusa Ina Connection (NIC)

“Kita tidak pernah benar-benar miskin ketika masih punya waktu dan hati untuk peduli.”

Archipelagotimes.com – Ada satu bentuk kehilangan yang paling sunyi: ketika perhatian dan kasih sayang yang kita berikan tidak dihargai. Bukan karena kita mengharap balasan, tapi karena kita berharap itu diakui. Manusia hidup dengan dorongan untuk dimengerti, dan ketika kasih yang kita curahkan diabaikan, maka luka emosional itu terasa seperti dijatuhkan dalam ruang hampa.

Sebagai seorang aktivis, saya sering berbicara soal keadilan, isu struktural, atau kebijakan publik. Tapi hari ini saya ingin bicara tentang sesuatu yang lebih sederhana, tapi jarang disentuh: rasa dihargai. Dalam hubungan pertemanan, organisasi, bahkan keluarga—banyak dari kita pernah mengalami situasi di mana perhatian kita dibalas dengan acuh, atau malah dianggap mengganggu.

Ini bukan tentang romantisme. Ini tentang budaya kita hari ini—budaya yang terlalu cepat, terlalu sibuk, dan terlalu sibuk menampilkan pencapaian hingga lupa bagaimana rasanya benar-benar hadir untuk orang lain.

Apresiasi: Yang Kecil Tapi Terlalu Langka

Di tengah kehidupan kampus dan sosial yang serba kompetitif, perhatian tulus justru dianggap kelemahan. Kita lupa, bahwa empati adalah kekuatan. Menghargai bukan berarti membalas dengan hal besar, cukup dengan kehadiran, respon sederhana, atau kata “terima kasih”.

Mengapa apresiasi menjadi begitu langka? Karena kita dibentuk oleh sistem yang menghargai hasil, bukan proses. Maka jangan heran jika orang yang tulus memberi waktu dan perasaan justru dikesampingkan, sementara mereka yang pasif dianggap lebih “dewasa”.

Padahal di balik perhatian yang tampak sepele, ada keberanian untuk membuka diri. Dan ketika itu dibiarkan tanpa makna, kita sebenarnya sedang memperkuat budaya diam—budaya yang akhirnya membunuh ruang empati di antara kita.

Ketulusan Tidak Selalu Dibalas

Tidak ada jaminan bahwa kebaikan akan dibalas. Namun bukan berarti itu harus dimatikan. Perhatian tidak lahir dari kelemahan. Justru sebaliknya: ia lahir dari keberanian untuk melawan arus. Ketika dunia makin individualistik, orang yang berani menunjukkan kasih sayang adalah pemberontak sejati.

Di ruang-ruang diskusi mahasiswa, kita bicara tentang keadilan sosial. Tapi ironis jika kita sendiri gagal berlaku adil terhadap mereka yang peduli pada kita. Di kampus, di organisasi, atau di ruang digital—berapa banyak orang yang tulus ditinggalkan karena kita terlalu sibuk dengan dunia kita sendiri?

Kita Butuh Budaya Empati

Kita tidak sedang kekurangan orang pintar. Kita kekurangan orang yang mau mengerti. Kita butuh budaya apresiasi, budaya menyapa, budaya memahami. Tidak semua orang kuat menjalani hari-harinya, dan sering kali perhatian kecil bisa jadi penolong yang tak terlihat.

Sebagai generasi muda, mari kita mulai dari hal sederhana: belajar menghargai perhatian. Tanggapi pesan. Balas sapaan. Tersenyum ketika diberi sesuatu. Karena mungkin, bagi kita itu sepele, tapi bagi orang lain—itu dunia.

Ketika perhatian dan kasih sayang tidak lagi dihargai, dunia kehilangan salah satu nilai paling mendasar dari kemanusiaan. Sebagai aktivis, generasi muda, sebagai manusia, sebagai bagian dari masyarakat—jangan biarkan empati menjadi barang langka. Jika tidak sekarang, kapan lagi kita akan mulai peduli?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!