Archipelagotimes.com – 1 Juli 2025 – Momentum Hari Bhayangkara ke-78 hari ini tak sekadar menjadi seremoni tahunan. Lebih dari itu, peringatan ini semestinya menjadi titik balik untuk memperkuat relasi antara Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) dan masyarakat sipil demi terwujudnya demokrasi yang inklusif dan berkeadilan.
Hal ini ditegaskan oleh Iradat Ismail, Sekretaris Jenderal Forum Alumni Pelajar Islam Indonesia (FAPII) sekaligus Direktur Kornas JAPI. Menurutnya, tantangan hubungan antara POLRI dan masyarakat sipil masih kerap muncul, terutama dalam isu-isu krusial seperti kebebasan berpendapat, penanganan aksi demonstrasi, hingga dugaan pelanggaran HAM.
“Hubungan yang sehat antara aparat dan masyarakat sipil adalah fondasi demokrasi. Hari Bhayangkara bukan hanya ajang seremoni, tetapi ajang refleksi bagi POLRI untuk kembali ke khitah-nya sebagai pelindung rakyat, bukan penguasa,” ujar Iradat, Selasa (1/7).
Ketegangan Masih Terjadi, Dialog Harus Diperluas
Dalam konteks demokrasi modern, masyarakat sipil—terdiri dari aktivis, LSM, akademisi, hingga tokoh lokal—memainkan peran penting dalam mengawasi transparansi institusi penegak hukum. Namun Iradat menyoroti bahwa ketegangan seringkali muncul ketika ruang demokrasi tersumbat oleh tindakan represif.
“Masih ada persepsi bahwa POLRI terlalu dominan dalam menjaga stabilitas, tapi kurang mendengar. Padahal, membangun kepercayaan butuh dialog terbuka dan kesediaan untuk dikritik,” ujarnya.
Tiga Langkah Strategis POLRI: Dengarkan, Terbuka, dan Libatkan
Dalam pernyataannya, Iradat mengusulkan tiga langkah konkret yang bisa dijadikan arah baru POLRI dalam memperbaiki relasinya dengan rakyat:
1. Dialog Terbuka
POLRI harus aktif membuka ruang diskusi bersama elemen masyarakat untuk mendengar keluhan, masukan, dan kritik. Forum-forum terbuka semacam ini dapat mengurangi stigma negatif dan membangun pemahaman bersama.
2. Transparansi Penegakan Hukum
Banyak pihak masih meragukan objektivitas POLRI dalam menangani kasus tertentu. Dengan memperkuat prinsip keterbukaan, kepercayaan masyarakat bisa dipulihkan secara bertahap.
3. Community Policing
Konsep “polisi sebagai pelayan” mesti dihidupkan kembali. Pelibatan warga dalam pencegahan kejahatan bukan hanya mempererat hubungan emosional, tetapi juga meningkatkan efektivitas keamanan di tingkat akar rumput.
POLRI Harus Jadi Sahabat, Bukan Bayang-bayang Kekuasaan
Iradat juga mengingatkan bahwa keberadaan POLRI bukan sebagai alat kekuasaan, melainkan pelindung hak-hak warga. “Kesan represif, apalagi dalam penanganan unjuk rasa, justru mencederai citra POLRI. Kita ingin melihat polisi yang humanis, tidak anti-kritik, dan berdiri di tengah rakyat,” katanya.
Momen Introspeksi dan Reformasi
Hari Bhayangkara kali ini, kata Iradat, seharusnya menjadi momen introspeksi untuk memperkuat komitmen POLRI dalam melayani masyarakat dengan semangat profesionalisme dan humanisme.
“Keamanan sejati bukan sekadar soal tertib, tapi bagaimana keadilan ditegakkan dan hak-hak dijamin. Inilah semangat Bhayangkara yang sebenarnya,” pungkasnya.